Pengenalan Adat dan Budaya Karo - Zepetto HD News

Breaking

Informasi Seputar Kehidupan Dan Budaya Warga Karo.

Selasa, 19 Mei 2020

Pengenalan Adat dan Budaya Karo

Foto by: Ari Dael Ginta Tarigan

Suku ini merupakan salah satu suku yang berasal dari Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di wilayah yang mereka diami yaitu Kabupaten Karo yang terletak di dataran tinggi Tanah karo. Suku Karo adalah merupakan suku asli pertama Kota Medan karena Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi oleh warna merah serta warna hitam dan penuh dengan perhiasan emas, dan memiliki salam khas, yaitu ''Mejuah-juah".

Sejarah Singkat
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan yang mirip dengan Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari suku Batak yang mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) juga mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar terdapat kerajaan Islam dan juga terdapat kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

         Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.

Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri. Demikianlah merekamulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang. Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi" (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.Ginting, anak yang  kedua. Sembiring (anak ketiga), diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya. Peranginangin (anak keempat), diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung). Tarigan, anak bungsu (anak yang kelima).

Wilayah Tanah Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat, bahwa Tanah Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo saja. Padahal, Tanah Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo. Wilayah Tanah Karo  meliputi: Kabupaten Karo, Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi(Kecamatan Taneh Pinem, Kecamatan Tiga lingga, Kecamatan Gunung Sitember), Kabupaten Aceh Tenggara (Kecamatan Lau sigala-gala, Kecamatan Simpang Simadam), kabupaten Deli Serdang(Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Deli Tua, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Biru-biru), Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Silau).Suku Karo merupakan suku asli pertama Kota Medan karena Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Suku Karo pada mulanya tinggal di dataran tinggi Karo yakni Berastagi dan Kabanjahe. 


Peta Wilayah Kabupaten Karo.

 Rumah Adat Karo
Rumah Adat Karo merupakan rumah Adat di Sumatera Utara untuk masyarakat daerah Karo dan termasuk salah satu rumah adat yang menarik. Rumah Adat Karo atau disebut juga Siwaluh Jabu yang memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga. Rumah Adat Karo berbeda dengan suku lainnya, bentuknya sangat megah diberi tanduk, selalu menghadap ke utara dan selatan dan tanpa paku sama sekali, bentuk dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat karo. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh Adat Karo, dan karena itulah disebut rumah Adat.

Rumah Adat Karo.

Tutur Adat Karo

1). Rakut Sitelu)
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
1). Kalimbubu (kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri).
2). Anak beru  (anak beru ialah keluarga yang mengambil atau menerima isteri).
3). Senina (senina ialah keluarga satu galur keturunan marga, saudara kandung laki-laki, atau keluarga inti).

2). Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh merupakan sistem kekerabatan masyarakat karo yang berhubungan dengan penuturan yang terdiri dari 8 golongan,yaitu:Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
1). Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang.
2).Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung. Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya. Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
3). Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
4). Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
5). Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
6). Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
7). Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
-Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
-Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
8). Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Pakaian Adat Karo

Pakaian Adat Karo.

Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Kain hias yang digunakan suku karo disebut dengan "Uis". Pakaian adat yang dipakai oleh kaum pria dan wanita biasanya disebut dengan istilah "Uis Gara".Bahkan terkadang disebut lebih spesifik seperti Uis Nipes atau Beka Buluh. Berikut merupakan beberapa pakaian adat karo:

1). Uis Padang Rusak
Digunakan sebagai kain/ selendang wanita untuk kegiatan pesta atau kegiatan harian.

Uis Padang Rusak.

2). Uis Beka Buluh
Adalah kain hias khusus digunakan oleh pria untuk penutup kepala dan penghias di bahu.

Uis Beka Buluh.

3). Uis Benang Iring
Adalah kain/ selendang selendang untuk wanita untuk upacara atau pun kegiatan yang bersifat dukacita.

Uis Benang Iring.


4). Uis Ragi Barat
Adalah kain/ selendang untuk wanita yang digunakan dalam acara pesta maupun acara pemuda/i karo dalam kegiatan sukacita lainnya.

Uis Ragi Barat.


5). Uis Jongkit
Kain penghias untuk pria digunakan dalam acara adat, acara Pemuda/i karo dan kegiatan sukacita lainnya.

Uis Jongkit.


6). Uis Gatip
Kain penghias untuk pria yang fungsinya juga sama dengan uis jongkit, yaitu untuk kegiatan adat yang bersifat sukacita.

Uis Gatip.

7). Uis Julu
Kain penghias untuk pria digunakan pada acara adat, acara Pemuda/i karo, dan kegiatan budaya sukacita lainnya.
Uis Julu.

8). Perembah
Kain yang digunakan untuk menggendong bayi atau pun anak kecil.

Uis Perembah.

Pakaian Dukacita Karo
Pakaian adat dukacita dalam suku karo didominasi dengan warna gelap (Baju Mbiring) sebagai lambang kesedihan. Pakaian yang dipadukan dengan uis beka buluh untuk pria dan uis benang iring dan Gatip untuk tudung wanita.


Pakaian dukacita Adat Karo


Makanan Khas

1). Cincang Bohan


Cincang Bohan
Cincang Bohan ini mencampurkan beberapa sayuran yang unik,seperti daun ubi,jantung pisang,rimbang,inti batang pisang,daun bawang,tomat,kencung,kemiri,kelapa,dan asam cikala.Sayuran tersebut kemudian dicampurkan dengan daging, biasanya bisa daging sapi atau daging ayam.Setelah dicampur merata,Cincang Bohan kemudian dimasukan ke dalam ruas-ruas bambu yang telah dipotong-potong.Lalu,ruas bambu tersebut diletakan di dekat api untuk dibakar hingga masak,namun tidak langsung mengenai api.Proses pembuatan Cincang Bohan yang menarik ini,membuat banyak orang penasaran untuk mencicipinya.

2). Pagit-pagit


Pagit-pagit
Masakan ini mirip dengan terites. Bahan utamanya yaitu rumput yang ada di lambung sapi. Setelah rumput dikeluarkan dari lambung sapi,rumput tersebut diperas hingga beberapa kali. Kemudian air perasannya dimasak untuk dijadikan kaldu. Agar rumput tidak berbau amis maka dimasak bersama kulit pohon cingkam, susu segar, serai, jahe, asam dan daun jeruk. Kemudian bagian perut sapi atau babat dan sumsum tulang sapi juga dimasak dan disajikan sebagai pelengkap hidangan ini.

3). Babi Panggang Karo (BPK)


Babi Panggang Karo (BPK)

Babi Panggang Karo (BPK) sudah tidak asing lagi saking populernya, makanan ini dijual di beberapa restoran khas karo yang tersebar di Indonesia. Babi panggang karo biasanya disajikan dengan makanan pelengkap seperti sup daging babi, daun ubi tumbuk yang dicampur dengan parutan kelapa, darah babi yang sudah diolah, sambal, kidu-kidu dan nasi putih hangat. Makanan ini merupakan salah satu makanan non halal yang menjadi ikon khas Sumatera Utara. Belum lengkap rasanya mengunjungi tanah Karo kalau belum menyicipi masakan khas satu ini.

4). Cipera


Cipera

Cipera adalah masakan khas Suku Karo dari Sumatra Utara yang terbuat dari bahan dasar daging ayam kampung dan tepung jagung. Potongan daging ayam kampung kemudian dimasak dengan tepung jagung hingga empuk dan berkuah kental. Agar menghasilkan kuah yang lebih kental, maka tepung jagung yang digunakan harus dari bulir tua dan disangrai dan telah ditumbuk hingga halus.

5). Ayam Tasak Telu


Ayam Tasak Telu

Tasak Telu adalah masakan khas Suku Karo dari Sumatra Utara dengan bahan dasar daging ayam kampung yang dicampur dengan darah ayam. Kadang-kadang darah ayam juga dapat digantikan dengan menggunakan hati ayam dan rempela. Masakan ini biasanya dinikmati pada saat acara-acara tertentu, khususnya pada pelaksanaan pesta adat Karo.Tasak Telu juga disebut Masak Tiga atau Tiga Masakan,saat ini terdapat beberapa rumah makan khas Karo yang terdapat di Kabanjahe, Berastagi, dan juga Medan.

6). Cimpa Unung-unung


Cimpa unung-unung

Cimpa adalah makanan yang dibuat dari beras ketan merah atau putih.Di dalam beras ketan merah dimasukkan gula merah atau gula aren yang telah dicampur dengan kelapa parut.Cimpa biasanya dibungkus dengan daun pisang.Cimpa biasanya dimasak dengan dikukus.Cimpa adalah salah satu makanan yang sangat penting bagi orang Karo.Cimpa harus ada di setiap pelaksanaan acara-acara adat Suku Karo.Cimpa harus dihadirkan saat berlangsungnya acara pesta adat pernikahan, kerja tahun atau merdang merdem, dan kematian.Jika dalam salah satu acara adat tersebut tidak dihadirkan cimpa, maka acara adat tersebut dianggap kurang dan tidak sempurna.

Kegiatan Budaya

1). Merdang Merdem
Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

2). Mengket Rumah Mbaru & Mahpah
- Mengket Rumah Mbaru adalah salah satu upacara adat dalam suku Karo, Sumatra Utara. Mengket dalam bahasa Karo berarti masuk, dan mbaru berarti baru. Secara harafiah, mengket rumah mbaru adalah upacara yang diadakan orang Karo saat hendak memasuki rumah yang baru. Biasanya acara ini melibatkan keluarga besar dan rakut sitelu.Upacara ini tergolong sebagai pesta sukacita dan mulia, karena upacara ini menggambarkan kesuksesan tuan rumah (penyelenggara pesta).
- Mahpah atau sekarang ini disebut dengan Gendang Guro-guro Aron (GGA) adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Karo yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa (menurut kepercayaan masing-masing) atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Pada Gendang Guro-guro Aron tersebut masyarakat karo bernyanyi dan menari bersukaria, yang biasanya dilakukan sepanjang malam, di bawah cahaya bulan purnama.

Daftar Marga Suku Karo
Suku Karo memiliki 5 Merga induk,namun memiliki sub merga menjadi berjumlah 85 merga, diantaranya ialah:

1). Ginting
Marga Ginting memiliki sub marga yaitu: Anjartambun, babo, beras, cabap, gurupatih, garamata, jandibata, jawak, manik, munte, pase, seragih, suka, sugihen, sinusinga, tumangger, taling kuta.(jumlah 17)

2). Sembirng
Marga Sembiring terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
- Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing),sub marga: Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4).
- Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing),sub marga: Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, busuk, colia, muham, maha, bunuaji, gurukinayan, pandia, keling, pandebayang, sinukapur, tekang. (jumlah 15).
Jumlah submarga sembiring =19

3). Perangin-angin
Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung.(jumlah 18)

4). Tarigan
Bondong, gana-gana, gersang, gerneng, jampang, purba, pekan, sibero, tua, tegur, tambak, tambun, silangit, tendang.(jumlah 14)

5). Karo-Karo
Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, kemit, jung, sinukaban, sinubulan, samura, sekali. (jumlah 18)

Agama
Mayoritas penduduk Karo telah memeluk agama Kristen sekitar 70% (mayoritas Protestan 90% dan 10% Katolik), dan Islam 25%. Sekitar 5% masih menganut aliran kepercayaan lama yakni Pemena.

Gereja yang didominasi Suku Karo yaitu:
- Gereja Batak Karo Prostestan (GBKP)
- Gereja Injil Karo Indonesia (GIKI)

Kontroversi
Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu dikategorikan sebagai suku Batak.
Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Orang Batak mengatakan bahwa orang-orang Karo sebaiknya tidak serta-merta menyatakan diri sebagai suku non-Batak, dikarenakan menurut mereka beberapa marga Suku Karo masih ada keterkaitan dengan sebagian marga dari Batak Toba, seperti marga Sitepu yang masih se-"trah" dengan marga Sitohang, atau marga Purba yang masih ada kaitannya dengan marga Purba di Simalungun.
Orang karo enggan jika mereka disebut sebagai batak atau pun batak karo, dikarenakan perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan bahasa, perbedaan salam khas seperti Mejuah-juah bukan Horas, termasuk karakter sifat dan ciri fisik yang berbeda. Satu kepastian, masyarakat Karo sampai saat ini masih terus berupaya membuktikan bahwa mereka adalah sebuah suku yang berdiri sendiri, mempunyai standar adat-istiadat yang mandiri. Namun sayangnya, belum cukupnya bukti yang lebih jelas dan akurat untuk mengajukan perbedaan tersebut.

Demikianlah tentang pengenalan adat dan budaya suku karo yang dapat saya bagikan, mohon maaf  jika terdapatnya kesalahan atau kekeliruan. Semoga bermanfaat, terimakasih. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar